Kereta Kencana
"Eh, udah siap semua kan?," tanyaku yang tengah sibuk mempersiapkan bekal.
"Tenang semua udah beres, tinggal bagian kamu aja itu yang belum, punyaku sama Umar udah semua," jawab Fikri.
"Semuanya besok kumpul disini jam 5 pagi ya, langsung ke stasiun, kereta berangkat jam 6 pagi," ucap Umar.
"Oke, semua udah beres, kita pulang dulu," ucap Fikri, kebetulan aku dan Fikri tinggal di kamar kos yang sama.
Liburan semester ini kami berencana untuk berlibur selama beberapa hari ke Jogja. Kita berencana akan berkemah di Pantai Parangtritis kemudian melakukan perjalanan kecil mengelilingi kota Jogja ala-ala road trip.
***
Hari keberangkatan tiba, setelah semua beres, kami langsung pergi menuju stasiun. Kebetulan kami sampai di stasiun tidak begitu kepagian, setelah beberapa menit menunggu akhirnya kereta yang datang tepat waktu.
Perjalanan bandung-jogja menghabiskan waktu sekitar 8 jam. Diperjalanan kami habiskan dengan tidur karena waktu tidur semalam yang sangat singkat.
***
Kami tiba di Jogja pukul 3 siang, dari stasiun kami langsung saja memesan taksi online menuju destinasi utama kita, Pantai Parangtritis. Sesampainya di pantai suasana masih baik-baik saja, keadaan pantai seperti biasanya. Banyak pengunjung yang berlalu lalang di sekitar pantai.
Tanpa pikir panjang kami langsung bergegas mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda tepat di dekat tebing tidak terlalu jauh dari pantai.
***
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, pemandangan matahari terbenam benar-benar luar biasa indah. Tapi aneh pantai ini tiba-tiba menjadi sangat sepi, para pengunjung sudah banyak yang pergi meninggalkan pantai. Rasanya kami hanya bertiga yang mendirikan tenda di pantai kala itu.
Hari sudah petang, Umar dan Fikri tengah sibuk membuat api unggun sembari sesekali bermain air pantai. Aku yang saat itu sedang malas makan mi instan, memutuskan untuk mencari makan di sekitar pantai. Mereka hanya titip jadi aku berangkat sendiri.
Sesampainya di warung makan dekat pantai aku memesan menu rames tiga bungkus dan gorengan. Suasana kampung benar-benar sangat sepi, para nelayan pun tidak melayat saat itu padahal angin saat itu tidak begitu kencang.
"Kok sepi banget ya Bu?," tanyaku kepada ibu penjaga warung.
"Iya, waktunya lagi gak bagus buat keluar malam, habis ini juga saya langsung tutup," jawab ibu.
"Emang kenapa Bu?," tanyaku kembali.
"Tidak apa-apa, oh iya, apa benar kamu sedang berkemah di pantai?," tanya ibu itu.
"Iya, Bu, bareng teman-teman saya," jawabku.
"Hati-hati ya, sekarang bulan suro, banyak yang lagi main ke pantai, kalau emang mau berkemah, gak usah macem-macem, kalau bisa di dalam tenda aja, gak usah keluar-keluar, takut di culik," jelas ibu kepadaku.
"Maksudnya Bu?," tanyaku kembali.
Ibu itu tidak lagi menjawab, raut wajahnya justru terlihat gugup. Beliau hanya menyuruhku untuk tidak macam-macam jika sesuatu terjadi dan jangan keluar apalagi main sekitar pantai malam-malam.
***
Setibanya di tenda, aku ceritakan semua apa yang dikatakan Ibu penjaga warung kepada Fikri dan Umar.
"Alah nggak usah terlalu dipikirin, yang penting kita gak aneh-aneh, tenang aja, udah makan aja sekarang," ucap Umar, dirinya begitu yakin jika kita tidak berbuat macam-macam maka 'mereka' juga tidak akan menggangu kita.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam, api unggun perlahan padam, suasana menjadi sangat dingin. Kami hanya mengandalkan pencahayaan seadanya.
Di dalam tenda, kami sempat berbincang seru, sebelum akhirnya lelah dan kantuk memaksa kami untuk tidur.
Sialnya, aku mataku masih segar, tidak ngantuk sedikitpun, mungkin karena terlalu banyak tidur di perjalanan. Tepat seperti yang Ibu warung tadi ceritakan, suasana pantai malam itu terasa tidak enak, dan sedikit aneh.
Ketika kami sudah berada di dalam tenda keadaan tetap sama, suasananya tidak enak, agak menyeramkan, lampu warga sudah banyak yang padam.
Tak selang beberapa waktu, aku yang saat itu belum juga mengantuk mencium bau wangi yang sangat harum. Wangi itu muncul begitu saja, wanginya seperti tidak lazim. Teringat perkataan Ibu tadi aku benar-benar tidak berani sedikitpun membuka tenda. Suasana benar-benar mencekam, dadaku sampai sesak karena merasa sangat ketakutan.
Belum juga hilang bau wangi tersebut, dari kejauhan justru terdengar suara lonceng-lonceng berbunyi bergantian. Suara langkah kuda terdengar dengan jelas beriringan dengan bunyi lonceng.
Krincing, krincing, krincing...
Tanpa pikir panjang, untuk membuktikan bahwa itu hanya warga kampung yang sedang mengunjungi pantai, dengan rasa gemetar ku buka pelan-pelan resleting tenda.
Kaget aku benar-benar melihatnya, terlihat dua ekor kuda yang tengah berputar mengelilingi pantai menarik sebuah kencana mewah lengkap dengan pernak-pernik dan pak kusirnya.
Refleks, tanganku segera mematikan lampu yang sedang menyala dalam tenda. Di dalam kencana tampak sosok perempuan berkebaya, lengkap dengan panggul di kepala tengah duduk manis mengitari pantai.
Mataku benar-benar tidak bisa mempercayai kejadian itu. Tubuhku saat itu merasa kaku seperti terhipnotis. Kereta kencana itu terus berkeliling mengelilingi pantai. Anehnya, wajah kusirnya terlihat sangat pucat.
Setelah lumayan jauh, kereta kencana itu tiba-tiba menghilang secara misterius. Bau semerbak yang sangat pekat juga tiba-tiba menghilang begitu saja.
Kejadian itu hanya berlangsung selama kurang dari 20 detik. Namun, sepertinya itu menjadi 20 detik terlama yang pernah aku rasakan.
Meskipun pikiran masih tidak karuan, ku paksakan untuk tetap tidur. Melihat ponsel ternyata waktu telah menunjukkan pukul 1 malam.
***
Keesokan paginya ku ceritakan semua apa yang terjadi semalam. Namun, mereka tidak mempercayainya, mereka hanya percaya jika aku telah mengigau yang aneh-aneh. Liburan tetap berjalan seperti biasanya. Pagi itu pantai benar-benar ramai, akan ada upacara selamatan laut.
Tidak lagi ku pikirkan, aku hanya berpikir, mungkin mereka hanya mampir untuk mempersiapkan acara hari ini. Selama hal itu akan menjadi sesuatu yang tidak bisa ku lupakan sampai kapanpun.
0 Response to "Kereta Kencana"
Post a Comment